Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampung Gedong, Desa Wisata Tanpa Listrik

Kompas.com - 11/05/2012, 15:13 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F

Penulis

KOMPAS.com – Sesaat, diri terasa terlempar ke dimensi berbeda. Ibarat di lakon-lakon film jadul silat China yang biasa diputar di televisi. Rumah-rumah kayu dengan arsitektur khas China. Lalu hio dan tempat pemujaan di depan rumah.

Di sudut tertentu, kelenteng dengan warna merah menyolok perhatian. Para lelaki tua bermata sipit duduk santai di teras rumah. Dengan ramah, mereka mempersilakan wisatawan yang penasaran dengan rumah-rumah antik mereka, untuk masuk ke dalam.

Di salah satu rumah, baru masuk, altar pemujaan sudah menyapa. Di ruang tamu, kursi-kursi kayu dipatok ke dinding bagian atas, hampir menyentuh langit-langit. Semakin membuat para wisatawan bertanya-tanya, apa maksud kursi-kursi itu diletakkan di atas.

“Itu kursi dari leluhur saya. Sudah ada sejak lama. Ditaruh di sana sebagai kenang-kenangan,” tutur Tjhang Ako, kepada Kompas.com, Kamis (3/5/2012).

Ia sendiri tak yakin tepatnya usia kursi itu. Namun ia memprediksi usia rumahnya sendiri sudah lebih dari 100 tahun. Beberapa orang memperkirakan rumah-rumah itu lebih dari satu abad. Sebab, Kampung Gedong diyakini sebagai Pecinan paling awal di Bangka.

Ya, rumah-rumah antik itu berada di Kampung Gedong yang terletak di Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Provisi Kepulauan Bangka Belitung. Penduduk yang menghuni kampung ini adalah keturunan dari orang-orang China daratan yang datang pertama kali ke Bangka. Tepatnya berasal dari Provinsi Guangdong.

Ada tujuh rumah yang masih mempertahankan keasliannya sejak pertama kali dibangun. Menurut Ako, rumahnya adalah salah satu yang bertahan dibangun tanpa menggunakan paku. Rumah dibangun dengan pasak.

“Rumah lain sudah modern, sudah pake paku,” ungkapnya.

Mereka merupakan keturunan Tionghoa Hakka. Mulanya, mereka datang ke Bangka di abad ke-18 sebagai pekerja tambang timah. Pulau Bangka maupun Pulau Belitung sejak lama sudah dikenal sebagai pulau timah.

Sementara pekerja tambang dari Guangdong terkenal keahliannya dalam urusan menambang. Kolonial Belanda pun mendatangkan mereka para suku Tionghoa Hakka dari Guangdong untuk bekerja di pertambangan timah.

Namun, ada pula versi lain. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disparbudpora) Kota Pangkal Pinang, Akhmad Elvian, yang juga seorang ahli sejarah, Tionghoa Hakka sudah memiliki lahan sendiri untuk menambang timah di masa Kesultanan Palembang.

Jadi, para penambang timah dari Guangdong ini sudah ada sejak Kesultanan Palembang. Versi lain menyebutkan mereka awalnya datang ke Singkawang, Kalimantan Barat. Sebelum akhirnya pergi ke Bangka.

Selepas masa kejayaan timah di bumi Bangka, para penduduk Kampung Gedong banyak yang berusaha kerupuk kemplang. Nah, kerupuk kemplang buatan warga Kampung Gedong memang menjadi wisata belanja wajib saat bertandang ke desa ini.

Konon, kerupuk kemplang terenak di Pulau Bangka adanya di Kampung Gedong. Salah satu pembuat kerupuk kemplang adalah Liong Jung Kwe (76). Ia sudah membuat dan menjual kerupuk selama 40 tahun lebih.

“Sejak saya masih gadis,” tuturnya sambil tertawa.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

    Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

    Whats New
    BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

    BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

    Work Smart
    Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

    Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

    Whats New
    Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

    Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

    Whats New
    Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

    Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

    Whats New
    Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

    Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

    Whats New
    Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

    Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

    Whats New
    Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

    Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

    Whats New
    Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

    Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

    Work Smart
    Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

    Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

    Whats New
    Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

    Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

    Whats New
    Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

    Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

    Whats New
    Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

    Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

    Whats New
    Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

    Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

    Work Smart
    Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

    Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

    Whats New
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com